Social Icons

Saturday, May 25, 2013

Kenali dan Cegah Diabetes pada Wanita


Saat ini, gangguan diabetes mellitus (DM) pada wanita semakin meningkat. Wanita dalam usia produktif bisa berisiko sama dengan pria untuk terkena penyakit tersebut. Padahal, wanita usia produktif memiliki hormon estrogen yang mampu melindungi kaum hawa dari penyakit tersebut.

Lalu, bagaimanakah mengenali dan mencegah DM pada wanita?

Staf Divisi Metabolik Endokrinologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dr Dyah Purnamasari SpPD menjelaskan hormon estrogen sebenarnya menekan angka wanita penderita DM pada usia produktif, sehingga lebih kecil dibandingkan dengan pria.

Namun, hormon estrogen yang ada pada wanita usia produktif atau premenopause tidak dapat berfungsi dengan baik bila wanita tersebut memiliki gaya hidup kurang baik.

Menurut dia, hal tersebut ditandai dengan kelebihan berat badan, dengan indeks massa tubuh (IMT) di atas angka ideal. Selain itu, lingkar perut bertambah atau melebihi ukuran standar wanita, yaitu 80 cm.

“Kedua hal tersebut merupakan ciri dari obesitas. Obesitas ini menyebabkan sindrom metabolisme, salah satunya adalah DM. Jadi, jangan anggap obesitas hanya sebagai masalah penampilan, tapi ini penyakit,” ungkap Dyah dalam seminar AFES 2013 di Auditorium RSCM Kencana di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Dyah, untuk gejala diabetes sendiri, pada dasarnya tidak terdapat banyak perbedaan antara laki-laki dan wanita.

Salah satu gejala yang bisa dialami wanita dan bisa dicurigai ke arah diabetes adalah keputihan berulang. Hal tersebut, lanjut dia, berisiko mencetuskan infeksi saluran kemih berulang dan tidak baik untuk kesehatan ginjal.

“Wanita diabetes juga harus berhati-hati agar tidak terjangkit infeksi, seperti infeksi saluran kemih. Menjaga kebersihan daerah intim merupakan salah satu hal yang penting dilakukan,” ujar dia.

Dyah juga menjelaskan, wanita diabetes juga terkait dengan osteoporosis. Ia memaparkan, osteoporosis merupakan gangguan metabolisme tulang di mana tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur atau patah tulang.

Pada diabetes mellitus tipe 1 yang biasanya sudah diderita sejak usia muda, risiko osteoporosis memang nyata akibat rendahnya hormon insulin pada pasien ini. Insulin memiliki efek anabolik yang artinya membangun, termasuk dalam proses pembentukan tulang.

Sedangkan pada DM tipe 2, risiko osteoporosis tidak sebesar pada DM tipe 1, terutama pada DM tipe 2 yang masih awal. Pada tipe 2, kelainan yang mencolok adalah gangguan kerja insulin di samping jumlahnya yang berkurang, namun tidak seberat pada DM tipe 1.

Penderita DM tipe 2 bisa mengalami osteoporosis seperti DM tipe 1, bila sudah lama menderita dan gula darah yang tidak terkontrol dengan baik. Gangguan metabolisme tulang pada DM tipe 2 yang konsentrasi gulanya tidak terkendali dapat membaik, seiring perbaikan konsentrasi gulanya.

Dyah menjelaskan, meski pengaruh DM pada disfungsi ereksi pada laki-laki sudah jelas, gangguan seksual pada wanita DM masih menjadi hal yang kontroversial. Sebab, sejauh ini kelainan organik pada subjek DM wanita masih belum terbukti memengaruhi langsung timbulnya gangguan seksual.

Faktor-faktor seperti depresi dan psikis lainnya lebih berperan pada gangguan seksual, di mana kejadian kecemasan dan depresi pada pasien DM memang lebih tinggi.

“Namun demikian, ada kemungkinan gangguan neuropati (persyarafan) pada DM memengaruhi libido dan orgasme pada wanita, juga proses lubrikasi (pelumasan) saat berhubungan seksual, “ katanya.

Wanita Hamil

Dyah mengatakan, wanita hamil sangat rentan terjangkit DM. Sebab, hormon yang dikeluarkan saat hamil, seperti kartisol, progesteron, dan prolaktin, akan melawan kerja insulin di dalam tubuh. Alhasil, insulin tidak bisa berfungsi dengan baik dan membuat gula darah tinggi saat hamil.

Ia mengatakan, wanita yang terkena DM hanya pada saat hamil disebut penderita diabetes melitus gestasional (DMG). Dokter harus dengan jeli memeriksa diabetes yang dialami pasien, apakah pasien memang penderita diabetes murni atau hanya mengalami pada saat kehamilan.

Jika memang merupakan penderita diabetes sejak awal, lanjut Dyah, pada saat kehamilan obat oral yang diberikan sebaiknya dikonversikan dengan insulin.

Sedangkan pada kasus DMG, dokter akan memberikan terapi nutrisi medik selama awal kehamilan, yaitu berkisar 2-4 minggu. Jika tidak mencapai target kendali gula darah, diberikan suntik insulin yang akan dihentikan setelah proses melahirkan.

“Biasanya kasus diabetes gestasional akan berulang pada kehamilan berikutnya, mengingat bertambahnya usia ibu. Wanita hamil dengan diabetes harus melakukan kendali diabetesnya, supaya tidak terjadi
kelahiran bayi dengan berat badan berlebih (giant baby),” ujar dia.

Dyah menambahkan, pada saat proses kelahiran, dokter harus berhati-hati dalam memutuskan cara lahir normal atau operasi caesar. Penting untuk diperhatikan apakah terdapat komorbiditas diabetes, yaitu hipertensi, kadar kolesterol yang tinggi, dan sindrom metabolik.

Pasien dianjurkan untuk melahirkan dengan pengawasan dokter ahli. Bila harus dilakukan operasi, dilakukan kontrol terhadap luka pasca-operasi. Tidak akan menjadi masalah bila luka bersih, tekanan darah terkontrol dengan baik, dan nutrisi yang dikonsumsi juga baik.

Kontrol dan edukasi juga harus dilakukan dengan seksama oleh dokter kepada pasien, ketika bayi dilahirkan. Evaluasi kesehatan bayi bisa dilakukan melalui proses rawat bersama dokter kebidanan, dokter anak, dan dokter penyakit dalam.

“Pada kasus bayi dengan ibu penyandang diabetes, memang terdapat risiko bayi akan menderita obesitas. Namun dengan edukasi dan kontrol yang baik, seperti memberikan ASI eksklusif, mengatur nutrisi bayi, membiasakan bayi aktif, dan diberi makanan sehat, masalah obesitas dapat dihindari,” tandasnya.

Sumber: Investor Daily

Share on :

No comments:

Post a Comment