Kisah Eduardo Agnelli Putra Pemilik Juventus
Edoardo Agnelli lahir di New York, tanggal 9 Juni 1954 dan meningal 15 November 2000.
Eduardo Agnelli Dia adalah putra tunggal Gianni Agnelli, bos besar Fiat Group, sekaligus keluarga besar pemilik klub besar Juventus.
Suatu hari dia menyaksikan acara debat politik di televisi Atlanta. Tema yang mereka bahas adalah tema “panas” pada saat itu: krisis di Iran
pasca-Revolusi Islam. Ada empat tamu dalam acara itu. Tiga wartawan dan seorang jubir Kedubes Iran di Roma, bernama Hassan Ghadiri Abyaneh.
Abyaneh mendapat giliran bicara yang pertama. Dalam bahasa Italia, dan dengan penuh keyakinan ia berucap, “Dengan Nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan Nama Tuhan Yang Lebih Besar dari kapal-kapal induk Amerika.”
Kalimat itu membuat studio seperti tersihir, kamera seperti membeku, begitu pula Eduardo di depan televisi. Ketika debat usai, keputusan Eduardo sudah bulat: dia harus mendatangi rumah Abyaneh di Roma.
Abyaneh mengenangnya dengan perkataan, “Dia datang dengan skuter butut.” Seolah-olah dia ingin dikenal sebagai orang biasa, meski bisa saja datang dengan membawa Ferrari.
Kepada satpam di mengenalkan diri dengan nama Eduardo. Dia mengatakan kenal Abyaneh di televisi, dan ingin berdiskusi sekaligus meminjam buku-buku tentang Imam Khomeini, pemimpin besar Revolusi Islam Iran.
Jawaban yang diterima awalnya negatif. Tuan rumah sedang tidak ingin diganggu karena akhir pekan adalah waktu keluarga. Sekali lagi Eduardo menitip pesan kepada tuan rumah melalui satpam; yaitu: “Pintu Tuhan tak pernah tertutup”. Segera Abyaneh keluar rumah dengan wajah bersalah. Persahabatan pun dimulai.
Abyaneh kini tau bahwa Eduardo juga seorang Muslim. Ia mengenal Islam saat kuliah di Universitas Princeton jurusan Filsafat dan Kajian Agama. Setelah membaca terjemahan Al-Quran berbahasa Inggris ia masuk Islam, namun disembunyikan dari publik.
Bagi Eduardo, Abyaneh adalah pintu masuknya ke Iran, bertemu dengan ulama berserban. Dia pun terbang ke Iran dan shalat Jumat di belakang Ali Khamenei—pemimpin spiritual Iran sekarang.
Saat pers Barat mencitrakan Imam Khomeini sebagai diktator haus darah, Eduardo malah menemui beliau. Mantan presiden Iran, Hashemi Rafsanjani, mengisahkan bahwa Imam Khomeini sempat mengecup kening Eduardo dan menasehati: “Banyaklah merenung dan mengingat kehidupan setelah mati”.
Eduardo menemukan kedamaian dalam Islam yang seperti itu dari sekali membaca Al-Quran. Hubungan dengan Abyaneh kian erat. Namun dengan keluarga semakin menegang.
Ayahnya, Gianni, yang tahu bahwa Eduardo berkiblat ke Teheran, menyatakan di media kalau Eduardo tak layak menjadi petinggi Fiat. Lebih buruk lagi ketika Eduardo di fitnah sebagai “gila” dan “pecandu narkotika” yang dibuat keluarganya sendiri.
Husein Abdullahi, mahasiswa Iran yang belajar di Turin mengisahkan bahwa Eduardo sering menyendiri setelahnya dengan membaca buku dan Al-Quran, bahkan kadang hanya dengan lilin.
Beberapa kali Eduardo menyatakan keinginannya untuk menetap di kota teologi Syiah, Qom (Iran), untuk mendalami filsafat dan Al-Quran. Eduardo juga meminta Abdullahi untuk menghubungi Departemen Perdagangan Iran karena ia ingin “menyumbangkan sebagian kekayaanya” tanpa diketahui orang banyak.
Namun, sesuatu terjadi sebelum itu.
Kamis pagi, 15 November 2000, di jembatan raksasa yang menghubungkan Torino-Savona, Carlo Francini, seorang petugas menemukan Fiat Crona hitam terparkir ditanjakan. Lampu masih menyala, tetapi tidak ada pemiliknya.
Polisi kemudian menemukan pemilik mobil tewas di dasar jembatan, 67 meter di bawah sana. Wajahnya rusak nyaris tak bisa dikenali. Dalam kartu pengenal terlihat foto pria berwajah bersih kelahiran New York, 9 Juni 1954. Namanya: Eduardo Agnelli.
Polisi berkesimpulan bahwa Eduardo “bunuh diri”. Namun banyak sahabat yang tidak percaya. Husein Abdullahi mengatakan bahwa Eduardo bukan tipe jiwa yang rapuh. Apalagi tiga hari sebelum kejadian Eduardo masih menyatakan niatnya belajar agama di Iran.
Tahun 2001, wartawan dokumenter Iran terbang ke Italia untuk menelusuri sebab kematian Eduardo. Langkah mereka berhenti. Polisi mendeportasi mereka. (Nampaknya, inilah kehidupan penuh misteri dari keluarga Agenelli ).
Di Villar Perosa, jenazah dikuburkan tanpa kafan, tidak ada Al-Fatihah. Semua dilakukan dengan cara Kristen. La Stampa, koran terbesar Torino milik Dinasti Agnelli, menurunkan brita dengan judul: “La’addio a Edoardo Agnelli” (Selamat Jalan, Eduardo Agnelli).
By : Komunitas Juventini Tifosi Sejati